Panic Buying Sebagai Persiapan Tengah Pandemi, Wajarkah?
By Herlambang Satriadi, 17 Apr 2020
Teman Superjuangan pasti sadar kalau stok masker dan hand sanitizer belakangan ini selalu lenyap atau sold out. Jika pun ada, harganya sudah meroket jauh di atas harga normal hingga masuk ke dalam harga yang sudah di luar akal sehat. Pelakunya?
- Sabun cuci tangan,
- Makanan beku (nugget, kentang goreng, pokoknya yang gampang dimasak),
- Tisu basah mau pun kering,
- Bahkan harga bawang pun mencapai Rp70.000 per kilo.
Dan lucunya lagi, hal ini terjadi di semua negara yang terkena Corona. Ada negara yang kehabisan telur, ada yang kehabisan tisu, ada yang kehabisan kaleng tuna. Apa pun kasusnya itu, hal ini terjadi dimana-mana di seluruh belahan dunia. Dan fenomena ini bernama panic buying. Lantas apa sih penyebabnya? Wajar atau gak sih?
Apa itu panic buying?
Mungkin kalian sudah bisa melihat dan merasakan efek panic buying yang sedang terjadi di sekitar kalian: stok makanan atau produk kesehatan habis dimana-mana. Namun sebenarnya apa sih definisi dari panic buying?
Panic buying merupakan sebuah fenomena dimana sebagian besar masyarakat membeli produk dengan jumlah yang jauh di luar normal demi mengantisipasi bencana atau keadaan darurat.
Simplenya: Panic buying merupakan persiapan yang berlebihan sebagai reaksi terhadap bencana. Contoh dari panic buying sudah terjadi dari dulu: Panic buying terjadi saat krisis ekonomi di Venezuela, saat Perang Dunia yang pertama mau pun yang kedua, dan bahkan pandemi flu Spanyol yang terjadi di tahun 1918.
Lalu kenapa orang panic buying?
Perlu diingat bahwa panic buying terjadi bila banyak sekali orang mengantisipasi bencana yang akan datang dengan menimbun stok sehingga mereka bisa bertahan hidup di tengah keadaan darurat. Tapi sebenarnya jawaban di balik kenapa orang melakukan panic buying itu simple saja:
Mereka merasa tidak pasti akan masa depan. Secara biologis dan psikologis, manusia memang mempunyai sifat kecenderungan untuk ingin mempertahankan stabilitas kondisi lingkungan. Tentu kita bisa beradaptasi tapi adaptasi pun membutuhkan waktu dan transisinya pun dilakukan secara bertahap.
Jika misalkan suatu perubahan terjadi dengan cepat, seperti pandemi, kerusuhan, atau perang, maka perubahan kondisi hidup pun terjadi jauh lebih cepat dan lebih drastis daripada yang kita bisa tangani atau bahkan kira. Mau tidak mau, itu memaksa kita untuk melakukan suatu tindakan, apa pun itu, demi bertahan hidup di masa depan.
Sama seperti saat pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa kita sedang mengalami pandemi Corona dan semua orang disarankan untuk tinggal di rumah saja, maka semua orang akan merasa cemas karena perubahan drastis yang terjadi dan bertanya pada diri sendiri, “Kalau begitu, aku gak bisa keluar untuk beli makan seperti biasa. Aku harus masak, tapi gak jago masak. Bahan makanan di rumah juga gak cukup, gimana dong?”
Akhirnya semua orang pergi mengantri berjam-jam di supermarket demi indomie atau makanan beku lainnya, harga bahan makanan pun melejit tinggi, dan stok pun menipis hingga akhirnya habis tak tersisa.
Apakah wajar?
Persiapan terhadap bencana itu wajar. Jika dalam kondisi Corona kamu keluar tanpa masker, atau kamu di rumah saja tanpa beli makanan sama sekali, itu artinya kamu tidak bijak.
Persiapan merupakan hal yang penting bagi manusia demi bertahan hidup. Bahkan binatang pun mempersiapkan ketidakpastian di masa depan dengan melakukan tindakan di masa kini ketika mereka ingin hibernasi.
Sama halnya jika berbicara tentang asuransi. Kita tidak pernah tahu apakah di masa depan kita akan mengalami perubahan yang begitu drastis, seperti mengalami kecelakaan atau didiagnosa penyakit kritis, tetapi kita bisa melakukan tindakan di masa kini untuk mengurangi risiko dari perubahan drastis di masa depan. Itulah kenapa orang beli asuransi.
Contohnya jika kamu membeli asuransi sekarang, maka kamu tidak perlu kuatir akan risiko-risiko Corona. Dan itu tidak salah karena kamu tidak merugikan orang lain.
Namun pada akhirnya, panic buying sebenarnya tetap tidak baik. Memang manusia akan selalu mencoba untuk mengalihkan ketidakpastian di masa depan dengan melakukan suatu tindakan pencegahan di masa kini. Untuk mengutip pernyataan Ketua Pusat Krisis UI Dicky Palupessy kepada CNN, “Dalam kondisi kehilangan sense of control, maka membeli secara berlebih itu mekanisme psikologis.”
amun yang membuat panic buying itu negatif adalah sifatnya yang menular. Kita perlu mengingat bahwa manusia itu makhluk sosial yang akan mengikuti satu sama lain. Jika satu orang panik, maka orang-orang di sekitarnya pun akan ikut panik.
Akhirnya harga bahan pokok pun naik dan tidak lagi terjangkau untuk semua orang. Hal ini mungkin menguntungkan bagi orang-orang yang pertama panic buying karena mereka sudah bisa mempersiapkan untuk diri sendiri.
Tapi panic buying merugikan orang lain.Orang lain menjadi tidak kebagian bahan pokok atau tidak sanggup membeli karena harganya yang sudah di luar akal manusia.
Jadi memang kita harus melakukan persiapan demi keselamatan diri sendiri dan itu adalah reaksi yang wajar, namun perlu diingat bahwa kita tidak boleh terlalu panik sehingga menyebabkan kepanikan dan mengambil jatah orang lain.
Daripada panic buying, mending beli asuransi online Super You aja. Hanya mulai dari Rp30 ribu-an aja per bulan, kamu bisa mendapatkan asuransi jiwa atau asuransi penyakit kritis yang bisa melindungi kamu. Regardless, stay safe and stay healthy ya, Teman Superjuangan!